Monday, April 28, 2014

Perjalanan Panjang Drs H Imam Haromain Asy’ari, MSi

Siapa sangka kalau Drs. H. Imam Haromain Asy’ari, M.Si, di masa kanaknya pernah angon kambing dan kerbau? Tetapi memang itulah yang dialaminya semasih menjadi bocah. Meskipun hidup dari keluarga yang secara ekonomi kebilang pas-pasan, namun keriangan masa kanaknya senantiasa melingkupi kehidupannya.
Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, dirinya mengeluarkan ternak dari kandangnya; menghalau, merumput dan menggiring kembali ternaknya menuju pulang. Pada saat angon inilah, Haromain kecil suka nunggang kerbau dan balapan bersama rekan-rekan sepermainannya. Dengan lompatan yang tinggi, kerbau-kerbau itu pun melompati selokan-selokan kecil sambil menuju padang-padang penggembalaan.
Ketika musim hujan datang, sebagaimana galibnya anak-anak desa lainnya, dirinya turut berlari-lari gembira menuju sungai desa. Mereka tak hanya saja berenang-riang di derasnya air sungai, melainkan pula bergantian menuju puncak jembatan – yang merupakan tinggalan zaman Belanda – untuk kemudian meluncur ke sungai. “Kami selalu berebut tempat yang paling tinggi. Sebab apabila kecipak air bekas kami meluncur muncratannya paling tinggi, maka dialah yang tampil sebagai pemenang,” terangnya sambil menerawang ke masa silam kanaknya.

Pada saat panen raya telah tiba, bersama teman-teman sepermainannya pula dia menuju pematang sawah berlarian melintasi jalan setapak. Begitupun pada saat musim tanam, tak segan-segan berjibaku turun ke lumpur sawah – seakan merasa membantu orang tuanya yang sedang sibuk bekerja. Di tengah-tengah alam yang masih perawan, jalanan setapak di pematang sawah-ladang, bau lenguh kerbau dan kambing serta derasnya aliran sugai desa, dirinya tumbuh, belajar dan terus berkembang menjadi bocah yang pintar.
Imam Haromain lahir tepat jam 12 siang pada Jum’at Legi 12 Rabiul Awal – yang bertepatan dengan tanggal 21 April 1954 – di desa Suwaru, Kelurahan Wringin Pitu, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Jumlah saudaranya ada 12 orang. Namun yang masih hidup dan telah melangsungkan berumah tangga hanya 8 orang.
Selepas dari MI Darul Faizin Catak Gayam tahun 1966, setahun kemudian putra pasangan Kyai Asy’ari dan Ibu Muhayyah ini, lantas nyantri ke PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar yang didirikan Mbah Bisri Sansuri. Padahal saudaranya yang 7 orang, semuanya mondok di pesantren Darul Ulum Rejoso. “Dalam sebuah musyawarah keluarga, ibu meminta agar saya dipondokkan di kyai tersepuh yang ada di Jombang. Waktu itu kyai sepuh di Rejoso, Tambak Beras dan Tebuireng telah wafat. Hanya Denanyarlah satu-satunya kyai sepuhnya yang masih hidup,” jelasnya memberikan alasan.
Sebagai kyai kampung, ayahnya memang sangat keras mendidik anak-anaknya, utamanya dalam hal keagamaan. Utamanya untuk ngaji al-Qur’an. Setiap habis maghrib, semua keluarganya berkumpul untuk mengaji. “Jika sampai absen ngaji, maka rontan panjang yang ada di tangannya langsung meluncur ke punggung. Namun kami pun menyadari, bahwa ayah melakukan hal itu adalah demi masa depan anak-anaknya,” tukasnya. “Setelah khatam al-Qur’an, kami lantas diwajibkan untuk mengaji kitab-kitab kuning,” tambahnya.
Di pondok Denanyar inilah dia menghabiskan pendidikan Tsanawiyah dan Aliyahnya. Lalu kuliah di Universitas Islam Tribhakti Lirboyo Kediri, hingga lulus Sarjana Muda pada tahun 1976. Sedangkan S1nya, diselesaikan di IAIN Walisongo Semarang dan lulus tahun 1979. Di tahun itu pula, dirinya menikah dengan Hamidah binti Achmad Bisri dari Keluarga nDalem pondok Denanyar sendiri. “Jadi.. masa mondok saya itu paling terpanjang di antara para santri. Mulai selepas MI hingga sekarang dan seterusnya,” kelakarnya sambil tertawa lirih.
Dari pernikahannya dengan Ibu Nyai Hamidah ini, telah dikaruniai 4 anak. Putra pertamanya Ahmad Athoillah, lahir pada tahun 1980. Setelah nyantri 11 tahun di pondok salaf Al-Falah Ploso, lantas memperdalam ilmu sosial-politik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dan kini tengah merampungkan tesisnya di Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, dengan konsentrasi juga di bidang ilmu sosial-politik.
Yang kedua, adalah Noor Athiyah yang lahir pada tahun 1982. Selepas dari Fakultas Sastra Universitas Jember, lalu melanjutkan studinya ke Pascasarjana Universitas Indonesia dengan konsentrasi pada Ilmu Kepustakaan dan Kearsipan. Sementara yang ketiga, yakni Ahmad Fithri Royani, tengah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Informatika. Dan yang keempat Mazidatul Faizah, kini masih memperdalam ilmu biologi di Universitas Negeri Malang.
Anak yang pertama dan kedua, kini telah menikah. Yang menggembirakan hati orang tua, kedua pasangan hidupnya sama-sama telah hafal al-Qur’an. “Terus terang, kami merasa senang dikaruniai Allah menantu yang hafidh dan hafidhah. Dan jika tak ada aral melintang, insya Allah menantu kami yang ketiga nanti juga hafal al-Qur’an,” harapnya. “Kami memang ingin agar anak-anak kami bisa menghafal al-Qur’an. Ini mengingat orang tuanya yang nggak sempat lagi menghafalkannya,” tambahnya sambil mengulum senyum.
Karir alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang ini, dimulai dengan menjadi CPNS di tahun 1981 yang bertugas sebagai guru di MAN Denanyar. Tugas ini diembannya lantaran mendapatkan dorongan dari mertua, agar dengan menjadi PNS bisa lebih turut menentukan akan masa depan MTsN dan MAN yang ada di lingkungan pondok Denanyar. “Sewaktu test CPNS saya diantar oleh seorang teman dengan sepeda motor. Berangkat jam 3 malam dari Jombang, lalu ngopi dan makan ketan di Krian. Setelah Shubuh baru meluncur ke Gelora 10 Nopember Surabaya untuk ikut test,” kenangnya.
Setelah berselang 10 tahun mengajar di MAN Denanyar – dan 8 tahun merangkap Wakasek, guru spesialis di bidang ilmu tafsir dan ilmu hadits ini lantas diangkat menjadi Kepala MTsN Denanyar. Sebab waktu itu Kyai Muhammad Iskandar (ayahanda Muhaimin Iskandar), telah memasuki masa purna tugas. Pada saat inilah dirinya turut memperjuangkan perluasan lokasi pendidikan. Akhirnya pihak yayasan berhasil membeli tanah seluas 4000 meter, yang berada di sebelah barat tanah wakaf. Dan ditambah lagi sumbangan dari pemerintah 5000 meter, sehingga jumlah keseluruhannya hampir 1 hektar.
Pada saat itulah, dirinya ditawari untuk menjadi Kasi Tsanawiyah Kanwil Dep. Agama Prov. Jawa Timur. Meskipun hal itu terjadi hingga dua kali, karena masih bersifat tawaran maka saat itu pun ditolaknya. Yang ketiga kalinya tak lagi berupa tawaran, melainkan langsung berupa surat undangan pelantikan. Maka di tahun 1997 itulah, dirinya resmi menjadi Kasi Tsanawiyah Kanwil Dep. Agama Prov. Jawa Timur. “Inilah awal bermula saya memasuki karir struktural. Satu-dua bulan awal perpindahan dari fungsional ke struktural ini, benar-benar membuat saya jadi stress,” akunya jujur.
Baru setahun menjabat, lalu dialihtugaskan menjadi Kasubag TU Kandepag Kab. Jombang. Pada waktu itu dirinya terpaksa harus rangkap jabatan, karena Kepala Kandepagnya transisi untuk mutasi ke daerah Pasuruan. Ketika penggantinya diambilkan dari Trenggalek, kerja rangkap itu pun masih saja dijalaninya. Sebab pengganti dari Kepala Kandepag Kabupaten Trenggalek pun juga masih belum ada.
Namun belum genap dua tahun jabatan tersebut dijalaninya, dirinya dipromosikan sebagai Kepala Kandepag Kab. Sidoarjo. Tepatnya pada bulan Juni tahun 2000. Setelah dijalaninya selama 3,5 tahun, lalu pada Ramadhan di bulan Oktober 2003 pria yang ramah senyum ini, dipercaya untuk menjadi Kabag TU Kanwil Dep. Agama Prov. Jawa Timur. “Sejak dari mahasiswa baik di senat maupun dewan mahasiswa, saya selalu didapuk sebagai Sekretaris. Sebelum menjadi Kepala Kandepag juga menjadi Kasubag TU dulu,” ucapnya dengan nada kelakar.
Dan tepat pada tanggal 25 Februari 2009 kemarin, sesuai dengan SK Menag Drs. H. Imam Haromain Asy’ari, M.Si resmi dilantik sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur – di gedung Grahadi Surabaya, menggantikan Drs. H. Roziqi, MM, MBA yang telah memasuki masa purna tugas. “Untuk ke depan nanti, kita harus memberikan porsi terbesar pelayanan publik ke masalah pendidikan. Baik tentang pengelolaannya maupun sarana-prasarana dan manajemennya. Sebab masalah ini sangatlah penting dan spesial sekali,” ujarnya. “Madrasah dan pondok pesantren harus benar-benar bisa menjadi pilihan utama masyarakat,” tandasnya. (ruangbening/s@if/mka)
Share via emailShare on Facebook+1Share on LinkedInPin it on PinterestShare on TumblrShare on Twitter

0 comments:

Post a Comment