Plosopos.com
Ibu nyai kita ini termasuk perempuan yang tidak mengenal kata
capek. Sejumlah jadual padat sudah menjadi langganan kesehariannya.
Apalagi kini dipercaya sebagai Wakil Bupati Jombang yang dikenal sebagai
kota santri. Ia berbagi rahasia agar tetap fit dengan segudang
aktifitas.
Nama lengkap perempuan ini Ibu Nyai Hj Mundjidah binti KH Abdul Wahab
Hasbullah. Dilahirkan di Jombang 66 tahun yang lalu tepatnya pada
tanggal 22 Mei 1948. Abahnya adalah seorang ulama besar yakni penggagas,
pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama. Bu Nyai Mundjidah, sapaan
akrabnya, lahir dan dibesarkan dalam tradisi dan kultur pesantren dimana
nilai-nilai Islam yang humanis, inklusif dan toleran telah menjadi
spirit dan inspirasi gerak kiprahnya. Melalui NU dan Partai Persatuan
Pembangunan, aktualisasi inklusifisme dan humanisme Islam dilakukan
secara konsisten dan berlangsung hingga saat ini. Konsistensi perjuangan
inilah yang telah membentuk karakter pribadi yang kuat dan telah teruji
dalam berbagai rezim politik, sekaligus sebagai pembeda dengan para
politisi yang lain.
”Keragaman etnis, suku, bahasa, budaya dan agama dalam naungan
kebangsaan Indonesia adalah karunia ilahi yang mesti dijaga
eksistensinya,” katanya kepada Aula. Karenanya, bagi Pengasuh Pondok
Pesantren Putri Lathifiyah dua di Pondok Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas Jombang ini, ”Memaksakan keseragamaan kebangsaan Indonesia
dalam segala dimensinya, sama halnya mengingkari eksistensi karunia
Allah,” terangnya.
Terlahir sebagai Aktifis
Bu Mun, sebagian orang menyapa, adalah simbol perempuan aktif di
Jombang. Putra kesembilan dari pasangan Mbah Wahab dengan Nyai Hj Rahma
ini telah menjadi saksi perjalanan bangsa. Ghirah perjuangan dari sang
abah telah menitis dalam sanubarinya. Sehingga meski usia masih belia
sudah turut aktif di garda depan perjuangan. Tahun 1965 pada tragedi
berdarah G30S/PKI, ia memiliki andil yang tidak kecil dalam melawan
kekejaman kaum sosialis atheis tersebut bersama elemen bangsa yang lain
karena saat itu aktif sebagai Bendahara KAPPI Cabang Jombang.
Berproses di NU bukan menjadi sesuatu yang baru karena sudah kenal
jam’iyah ini sejak bocah. ”Abah selalu mengajak anak-anak mengikuti
kemana saja ada kegiatan jamiyah, utamanya Muktmar NU,” kenangnya. ”Ini
juga yang telah mentradisikan keikutsertaan segenap keluarga guna
menyemarakkan gaung muktamar,” lanjutnya.
Organisasi Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) diikuti sejak dini dan
akhirnya dipercaya menjadi ketua (1965-1968). ”Banyak kenangan manis
semasa berproses di IPPNU,” katanya dengan senyum khasnya. Diantaranya,
bagaimana senantiasa menjaga semangat pantang menyerah dalam berjuang,
membesarkan panji NU, berkeliling dari kepengurusan anak cabang hingga
ranting. ”Bahkan saya datang ke pelosok desa dengan hanya bermodalkan
sepeda pancal,”
katanya. Tidak jarang bersama teman aktifis yang lain mencukupkan
dengan berjalan kaki. ”Semua itu menjadi pondasi yang kokoh bagaimana
berkiprah di NU,” katanya. ”Sehingga buah dari berproses tersebut telah
menjadikan semangat berjuang di jam’iyah masih tetap berkobar hingga
kini,” lanjutnya.
Berkhidmat di NU terus dijalani hingga kini. Selepas dari IPPNU
langsung aktif dalam organisasi keputrian NU yaitu fatayat (1969-1972).
Awal bergabung dengan fatayat, langsung dipercaya masuk dalam jajaran
pengurus harian, tepatnya menjadi Ketua II PC Fatayat NU Jombang. Dan
berbekal pengalaman memimpin IPPNU, selang enam tahun (1978-1983)
dipercaya menjadi Ketua PC Fatayat NU Jombang selama satu periode. Dan
ditengah khidmat itu (1973-1978) juga dipercaya untuk masuk dalam
jajaran kepengurusan harian PC Muslimat NU Jombang sebagai sekretaris.
Baru pada tahun 1984, Mundjidah muda diberi mandat memimpin PC
Muslimat NU Jombang untuk kali pertama. ”Namun dengan adanya peraturan
larangan rangkap jabatan buah dari Muktmar Situbondo, maka posisi Ketua
PC Muslimat NU Jombang harus ditanggalkan,” ungkapnya. Ya karena pada
saat bersamaan masih sebagai anggota DPRD Jombang dari PPP. Dan baru
pada 1999 hingga …… untuk kali kedua posisi Ketua PC Muslimat NU Jombang
dipercayakan kepadanya.
Pengalaman berorganisasi di NU telah menjadikan Bu Mun semakin
memahami karakter warga NU. Kemampuan berorganisasi telah
menghantarkannya duduk di kursi wakil rakyat sejak 1971 hingga 2012.
Berawal dari Fraksi NU DPRD Kabupaten Jombang (1971-1977) berlanjut
selama tiga periode aktif di Fraksi Persatuan Pembangunan DPRD Kabupaten
Jombang. ”Ini sebagai buah kebijakan fusi partai pada masa penguasa
Orde Baru yang meleburkan Partai NU ke dalam PPP,” katanya. Dan mulai
1997 hingga 2012 aktif di DPRD Jawa Timur dalam Fraksi Persatuan
Pembangunan serta sekarang hingga 2018 menjadi Wakil Bupati Jombang.
Meskipun dipercaya umat menjadi anggota dewan, kegiatan di pesantren
tetap dilakukan. Bu Nyai Mundjidah adalah pengasuh asrama Lathifiyyah 2
dan juga Wahabiyyah di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang,
Demikian juga kegiatan diluar tetap tidak dikendorkan. Kendati usia
telah memasuki kepala enam, namun yang melekat dari dirinya adalah tetap
energik dalam beraktifitas.
Dulu, saat posisinya sebagai Ketua PC Muslimat NU Jombang dan
sekaligus anggota DPRD Jawa Timur, tetap mengharuskannya mampu membagi
waktu dengan baik. ”Dan dengan pengalaman berorganisasi yang telah lama
saya lakoni, membuat semua itu bukan sesuatu yang sulit untuk dijalani,”
katanya berbagi rahasia.
Rahasia Bugar dan Pengharapan
Ketika pertemuan wali santri saat bulan Syawal beberapa waktu
berselang di asrama yang diasuhnya, tidak kurang ada yang mempertanyakan
kebugaran fisik Ibu Nyai Mundjidah. Jadual padat seharian ketika
menjadi anggota DPRD Jawa Timur yang berjarak sekitar 70 KM dari
kediamannya masih menyempatkan untuk menjadi imam rawatib, memberikan
motifasi serta mengajar santri putri masalah keagamaan dan sosial.
Terhadap kebugaran fisiknya dengan wajah penuh senyum, Ibu Nyai
Mundjidah mengingatkan kepada wali santri untuk menjaga kesehatan. Namun
demikian ada juga sejumlah bacaan yang direkomendasikan oleh Ibu
Mundjidah dan tentunya ajeg dilakukan menemani rutinitas. Sejumlah
wiridan ini juga menjadi a’malul yaum atau amaliyah harian bagi para
santri di asrama ini. Berkiprah di dunia politik tentu sarat dengan
intrik dan bersinggungan dengan sejumlah orang. ”Wiridan itu sebagai
pagar saja,” terangnya. Dan tentu saja yang harus dijaga adalah kesucian
dalam beraktifitas. Demikian juga harus ikhlas, tidak menyakiti orang
lain, membantu sesama dan berbagi dengan penderitaan orang adalah
diantara hal lain yang melekat dari diri Ibu Nyai Munjidah.
Karena itu tekad untuk menjadi yang terbaik terus dilakukan, termasuk
dengan jabatannya sekarang. Dalam banyak kesempatan, ia telah berjanji
untuk memanfaatkan kepercayaan masyarakat ini dengan memperhatikan
kebutuhan mereka, termasuk perkembangan fisik dan kesehatan para santri
serta sarana sekaligus prasarana pesantren.
Ada sejumlah harapan kepada NU. Diantara harapannya bagi kedepan
adalah proses kaderisasi di semua tingkatan. ”Karena organiasi besar
harusnya tidak pernah kehabisan kader penerus, pelanjut tongkat estafet
masa depan,” pesannya. ”Dan perlu saya tegaskan bahwa pemimpin yang
berhasil adalah yang mampu menyiapkan kader bagi kepemimpinan,”
lanjutnya.
Selain itu koordinasi antar bidang sudah saatnya semakin
diintensifkan, sehingga posisi dan pemilahan tugas masing-masing lini
akan mudah ditata dan dibagi. Sebagai contoh, antara IPNU dan Ansor
sering terjadi kerancuan, utamanya berkenaan dengan usia. ”Banyak kader
yang semestinya berproses di IPNU namun kenyataannya sudah masuk dalam
jajaran kepengurusan Ansor,” katanya menyayangkan. Begitu juga dengan
IPPNU dan Fatayat. ”Agenda kerja masing-masing lembaga dan badan otonom
di NU serta lajnah juga sudah waktunya diadakan sinkronisasi sehingga
kesamaan program bisa sejak dini dihindari,” lanjutnya.
Hal yang tak kalah penting untuk juga diperhatikan bagi setiap
pengambil kebijakan organisasi adalah kemauan untuk menata organisasi
dengan ikhlas dan tulus. ”Karena dengan begitu hasil yang diperoleh akan
barakah, yakni baik bagi organisasi maupun diri kita sendiri,”
pungkasnya. (s@if/anwar)