Plosopos.com
Kiai ini dikenal tegas, namun juga memiliki pandangan yang luwes.
Utamanya dalam masalah fikih. Hal itu sebagai buah dari pengelanaannya
ke sejumlah pesantren di Tanah Air.
Bersama kiai kenamaan yang lain, Kiai Imron, sapaan akrabnya
merupakan perintis pengembangan pola pemikiran fikih melalui halaqah
atau kajian khazanah keislaman salaf. Upaya itu dilakukan bersama
almarhum KH Wahid Zaini (Ponpes Paiton Probolinggo), KH Masdar Farid
Mas’udi, dan sejumlah kiai muda lainnya melalui Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Salah satu hasil upaya itu adalah lahirnya rumusan metode pengambilan
hukum yang menjadi keputusan Musyawarah Nasional NU di Lampung tahun
1992. Hal itu merupakan sebuah prestasi dan jariyah yang teramat
berharga baik bagi NU maupun khazanah intelektual Islam di Tanah Air.
Buah Santri Aktifis
Memiliki kemampuan dan wawasan yang demikian maju tentu bukan datang
tiba-tiba. Kiai Imron ternyata sosok pengelana sejati. Berguru ke
sejumlah kiai dan pesantren di berbagai daerah. Tidak hanya di Jawa
Timur, tapi hingga ke Banten. Karenanya, bukan sesuatu yang mengherankam
kalau kemudian kiai ini memiliki pemahaman yang demikian lentur dalam
berbagai persoalan fikih. Kendati demikian, beliau juga dikenal sebagai
kiai yang memiliki ketegasan dalam memegang prinsip. Sebuah sosok yang
sangat langka dimiliki oleh kalangan pesantren. Tapi itulah kelebihan
beliau yang diamini banyak kalangan.
Kiai Imron dilahirkan di Desa Ngelom, Kecamatan Taman, Sidoarjo, 17
Agustus 1938. Kiai yang pernah menjadi Rais Syuriah PBNU ini adalah anak
kedelapan dari sebelas bersaudara. Lahir dari pasangan Kiai Chamzah
Ismail dan Nyai Muchsinah. Ketika umur 9 tahun (1946), Imron kecil yang
masih darah biru, yakni keturunan Mas Karebet atau Joko Tingkir itu,
bersama sang kakak, KH M Rifa’i dikirim ke Pesantren Tebuireng Jombang.
Dari pesantren asuhan hadratus syaikh ini, kemudian ia pindah ke
Pesantren Buntet Cirebon.
Setelah merampungkan belajar hingga tiga tahun, ia berkelana ke Pondok
Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang hingga 1954.
Pengembaraan tidak berhenti, tapi dilanjutkan berguru kepada Mbah Maksum
di PP Al-Hidayah Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Dari situ ia pindah lagi
ke salah satu pesantren di Salatiga dan terakhir di Krapyak, Yogyakarta.
Selama di pesantren, ia tidak mencukupkan dengan belajar kitab dan
tirakat khas santri. Kesempatan itu juga digunakan untuk aktif menempa
diri di oranisasi. Tahun 1952, namanya tercatat sebagai anggota pleno GP
Ansor Cabang Jombang. Dan di tahun 1954, menjadi Pengurus Cabang IPNU
Jombang. Ketika di Lasem (1959), kiai yang tidak dikaruniai anak ini
menjadi Pengurus Cabang NU Lasem. Tahun 1962-1965 naik ke puncak menjadi
ketua. Pada tahun terakhir di Lasem ini meletus pembernatakan G 30
S/PKI, dan Kiai Imron tampil sebagai wakil komandan penumpasan PKI.
Setelah pulang ke Ngelom, sekitar tahun 1967, masuk di bagian penerangan
PERTANU Wilayah Jatim. Tahun itu juga, menjadi Ketua Departemen
Penerangan GP Ansor Jatim. Tahun 1967-1982 sebagai Katib Syuriyah PWNU
Jatim, yakni saat KH Machrus Ali menjadi rais.
Saat NU menjadi partai politik, jabatan yang disandangnya juga berganti.
Tahun 1971-1982 menjadi anggota DPRD Tingkat I Jatim. Kemudian pada
tahun 1973-1986 sebagai Wakil Ketua PPP Wilayah Jatim (ketuanya saat itu
KH M Hasyim Latif). Berikutnya antara tahun 1982-1987 dipercaya sebagai
Wakil Ketua DPRD Tingkat I Jatim. Dan untuk kepengurusan PP RMI atau
Rabithah Ma’ahid Islamiyah 1989-1994, dipercaya sebagai Sekjen. Beliau
juga dua kali menjadi anggota MPR-RI utusan Daerah Jatim, masa jabatan
1987-1992 dan 1992-1997.
Suami Hj Churiyah ini juga pernah menjabat Rais Syuriyah PWNU Jatim
selama dua periode yakni tahun 1992-1997 dan 1997-2002. Saat itu, Ketua
Tanfidziyah PWNU Jatim adalah KH A Hasyim Muzadi. Hanya saja, amanah
periode kedua tidak bisa tuntas, karena Kiai Imron dipercaya menjadi
Rais Syuriah PBNU periode 1999-2004 berdasarkan keputusan Muktamar
Lirboyo tahun 1999.
Meyakinkan Kiai Mahrus Ali
Seperti diketahui, tidak mudah meyakinkan kiai yang dipercaya sebagai
rais syuriah. Dalam tradisi NU, jabatan rais adalah posisi sentral dan
sakral. Hanya kiai atau ulama yang punya maqam tinggi: faqih, zuhud,
punya muru’ah, derajat dan akhlak mulia, yang pantas menduduki posisi
tersebut.
Karena itu, mudah dipahami jika para kiai NU umumnya menolak dicalonkan
sebagai rais. Mereka, selain “tahu diri” dan merasa “tak pantas”, juga
karena faktor watak kultural NU, yaitu rasa tawaddlu’ (rendah hati) yang
tinggi. Hal ini juga terjadi dalam kasus KH Mahrus Ali dari Pesantren
Lirboyo Kediri. Saat itu, atas kesepakatan beberapa kiai, KH Imron
Hamzah sowan ke Lirboyo minta kesediaan Kiai Mahrus Ali menjadi Rais
Syuriah PWNU Jawa Timur. Namun, seperti bisa ditebak, Kiai Mahrus
menolak keras dengan berbagai alasan.
Kiai Imron tidak putus asa. Beberapa hari kemudian beliau sowan lagi ke
Lirboyo. Apa yang terjadi? Begitu mendengar Kiai Imron datang lagi, Kiai
Mahrus langsung sakit dan terkena diare. Bahkan, istri Kiai Mahrus
mohon kepada Kiai Imron agar tidak datang lagi ke Lirboyo. Sebab, setiap
mendengar Kiai Imron sowan ke Lirboyo, Kiai Mahrus langsung jatuh
sakit. Artinya, saking tidak bersedianya Kiai Mahrus untuk menjabat
rais, Kiai Mahrus sampai trauma mendengar nama Kiai Imron. Namun, Kiai
Mahrus tidak bisa mengelak ketika para kiai dan peserta Konrferwil NU
Jatim memberi amanah untuk duduk sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim.
Terjaganya akhlak dan muru’ah para rais itu tidak lepas dari proses
terpilihnya mereka yang bersih dari kepentingan sesaat baik pribadi
maupun kelompok. Mereka memahami jabatan rais sebagai amanah, bukan
dalam arti jabatan sekuler yang mendatangkan prestise sosial, material,
dan politik. Mereka bersedia menjadi rais atau memimpin NU semata karena
niat ibadah, bukan karena syahwat politik yang meledak-ledak.
Para rais terpilih selain karena faqih dan zuhud, juga punya akhlak
mulia dan muru’ah tinggi. Jadi, mereka terpilih sebagai rais bukan
karena maju sendiri sebagai kandidat, apalagi menggalang dukungan ke
sejumlah kepengurusan di tingkat cabang. Mereka terpilih karena didorong
-bahkan dipaksa- oleh kiai-kiai lain dan para peserta konferensi.
Kesediaan Kiai Imron menjadi rais juga tidak serta merta. Tercatat,
dalam dua kali pelaksanaan konferensi beliau “ngacir”. Dan baru
“menyerah” ketika kala itu diprediksi ada ketegangan antara para
kandidat ketua tanfidziyah yang akan maju, yakni KH Wahid Zaini dan H
Sulaiman Fadeli. Lewat persyaratan yang beliau ajukan, akhirnya kedua
kandidat tersebut ditampung dalam kepengurusan wakil rais dan
terpilihlah KH A Hasyim Muzadi sebagai Ketua PWNU Jatim. Dan KH Imron
Hamzah tutup usia pada 23 Mei 2000 di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya.
Lahul faatihah.
di kutip dari majalah aula
saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.
ReplyDelete