Pemilihan umum presiden dan wakil presiden atau Pilpres 2014 memang
menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali warga
nahdliyin. Dalam sistem demokrasi yang mengandalkan “suara terbanyak”
setiap organisasi massa memang menjadi pusat perhatian.
Menariknya, pemilu kali ini hanya diikuti oleh dua calon dan otomatis
hanya berlangsug satu putaran sehingga persaingannya lebih terasa.
Berbagai warna partai politik yang berebut perhatian massa pada pemilu
legislatif April lalu dan ingin kembali berkontestasi dalam Pilpres mau
tidak mau harus menggabungkan diri atau berkoalisi ke dalam dua kutub
persaiangan.
Menariknya lagi, hasil koalisi politik yang terbentuk sangat mirip
dengan era politik tahun 1950-an, antara PNI-NU melawan PSI-Masyumi. PNI
yang berubah nama menjadi PDIP dan NU yang mendelegasikan hak
politiknya ke PKB mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sementara
PSI yang bermetamorfosis menjadi Gerindra dan Masyumi yang menjelma ke
dalam barisan partai Islam mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Pengelompokan ini tentu mengenyampingkan partai-partai politik
“warisan orde baru” yang ikut bergabung ke dalam dua kutub itu.
Entah disengaja atau kebetulan, namun hasil koalisi yang terbentuk
itu sudah cukup menjelaskan bahwa politik aliran atau politik berbasis
ideologi itu masih ada di Indonesia, dan formatnya masih sama dengan
yang dulu. Di ingkungan NU, menyebrangnya beberapa aktivis NU ke kubu
yang lain setelah penetapan calon juga mengingatkan bahwa pada saat NU
menyatakan keluar dari Masyumi, sebagian aktivis NU masih betah dan
ingin tetap bertahan di Masyumi.
Terlepas dari kepentingan dan persaingan politik antara dua kutub
koalisi, baik dulu maupun sekarang, koalisi itu masih memperlihatkan
bahwa berbagai kekuatan politik yang berkumpul dalam kedua kutub itu
mempunyai basis massa yang sama. Yang satu beranggotakan kalangan
tradisionalis dan berorientasi nasional, sementara kutub lainnya diisi
oleh kalangan modernis dan berorientasi transnasional. Dengan bahasa
lain, satu kutub berorientasi populis sementara kutub lain lebih elitis.
Kecenderungan itu tidak hanya menyangkut soal pandangan politik dan
paham ekonomi, tetapi juga sampai pada masalah sikap dan pemahaman
agama. Secara sepintas mungkin tampak aneh kenapa komunitas muslim
nahdliyin lebih enjoy bersahabat dengan masyarakat yang dulu disebut
marhaen, dari pada bekerjasama dengan kelompok muslim lain yang
modernis. Namun jika dilihat lebih jeli, cara beragama kedua kelompok
ini ternyata sama. Klasifikasi yang dipopulerkan Clifford Geertz antara
santri dan abangan itu tidak tepat karena terminologi abangan yang
kemudian diidentikkan dengan kaum marhaen yang lekat dengan berbagai
tradisi keagamaan itu juga ada pada diri santri dan komunitas pesantren
sebagai basis nahdliyin. Jadi koalisi itu terbentuk atas persamaan
karakter dan jati diri.
Namun apakah benar Pilpres 2014 menjadi sebuah pertarungan ideologi?
Jawaban pastinya tentu menunggu hasil Pilpres 9 Juli 2014. Apakah
masyarakat memilih berdasarkan ideologi, atau apakah ideologi sudah
tidak menjadi penentu arah perjalanan negeri ini? Kita lihat saja nanti.
diutip dari NU Online
saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.
ReplyDelete